Jumat, 18 Desember 2009

SAHABAT SEJATI DI HARI YANG FITRI

Teriknya matahari siang itu tak membuat Eca and her friends kepanasan. Jelas dong, mereka kan selalu naik mobil mewah, ber-AC lagi. Ditambah, senda gurau dan gelak tawa nggak pernah absen. Pokoknya happy banget deh.
“Girls, ntar kayanya gue nggak bisa belajar bareng deh.” Ucap Eca.
“Kenapa Ca? Loe ada janji ma siapa?!” Sahut Puput ketus.
“Nggak ada janji sih, tapi saudara gue dari luar kota mau datang.”
Setelah mendengar penjelasan Eca, temen – temennya bisa ngerti. Sampai di depan rumah besar berpagar tinggi mobil warna merah itu berhenti. Tak salah lagi, itulah rumah Eca anak pengusaha sukses.
“Gue duluan ya?”
“Okey, see you tomorrow girl…”
Eca langsung masuk ke rumah besar yang sepi itu. Di rumah itu memang hanya ada dua pembantu, satu tukang kebun, satpam dan sopir yang sengaja di siapkan orang tua Eca untuk menjaganya. Sebab mereka jarang di rumah, ya maklumlah, sibuk kali.
“Mbok, Mbok Ijah….!” Panggil Eca pada wanita yang dari kecil telah mengasuhnya.
“Ya Non, ada apa kok teriak – teriak gitu?”
“Kak Iqbal udah datang belum?”
“Belum kok Non. Mungkin sebentar lagi.”
Tak lama kemudian terdengar ketukan pintu depan. Ternyata benar, Iqbal, kakak sepupunya yang datang. Mereka ngobrol – ngobrol ampe lupa waktu. Nggak aneh sih, emang mereka lama banget nggak ketemu. Tak terasa, adzan Maghrib hampir berkumandang. Iqbal ngajak Eca buat makan di luar. Ketepatan banget, coz hari ini kan puasa.
Eca dan Iqbal buka puasa di salah satu restaurant ternama di kota itu. Tak sengaja, ternyata Iqbal ketemu temen sekolahnya yang rencananya mau pindah ke sekolah yang sama dengan adiknya, Eca. Akhirnya mereka makan bertiga. Iqbal mengenalkan Alvin, temannya itu kepada Eca.
Tak dapat dipungkiri, percaya atau nggak cinta pada pandangan pertama emang masih berlaku. Buktinya, setelah itu Alvin sering calling Eca. Apalagi sekarang mereka berdua satu sekolah. Emang sih nggak satu kelas, coz Alvin satu tingkat lebih tinggi ketimbang Eca.
Sebulan sekolah di situ, nama Alvin udah ngak asing lagi bagi warga seantero sekolah. Apalagi di kalangan cewek – cewek. Wih,… kaya superstar aja yach...? Nggak salah sih kalo banyak cewek yang naksir. Udah anaknya cakep, smart, jago basket, ramah, tajir lagi. Pokoknya perfect banget deh……
Saat para cewek berusaha merebut perhatian Alvin, ternyata Sesil, temen akrab Eca juga nggak mau ketinggalan. Sesil selalu meminta Eca buat nge-comblangin dia sama Alvin. Tapi udah beberapa kali Eca nolak nge-bantuin Sesil. Coz dia tau banget bahwa dia sendiri juga suka sama Alvin. Tapi nggak mungkin banget dia ngomong jujur ama Sesil. Dia nggak mau kehilangan sahabat seperti Sesil hanya gara – gara rebutan cowok. Nggak lah yaw…?!
Sepandai – pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh jua. Ato mungkin yang lebih tepat, sepandai – pandai menyimpan bangkai pasti ujung – ujungnya tercium juga. Kedua peribahasa itu kayaknya cocok banget buat keadaan Eca saat ini. Entah dari mana asal mulanya, tiba – tiba Sesil tau kalo Eca juga suka ama Alvin. And yang paling membuat Sesil benci ama Eca, dia nggak pernah ngomong kalo dia udah deket banget ama Alvin.
“Sialan banget sih tu anak!! Berani main api ama gue!!!” Sesil marah – marah nggak ada habisnya.
“Udahlah Ses, loe tenang dulu. Kabar itu kan belum tentu bener. Mungkin aja ada orang yang nggak suka ama kekompakan kita.” Ucap Ima mencoba menenangkan Sesil.
“Pokoknya gue harus ngomong ama Eca!!”
Ternyata Sesil masih dalam emosi. Dia mengemudikan mobilnya kenceng banget.
“Gila loe Ses, mau nyari mati apa? Kalo mau, jangan ajak – ajak kita dong!!!” teriak Puput sama Ima hampir bareng.
Benar dugaan Puput, Sesil nyamperin Eca di tempat les musiknya. Mungkin, hari itu adalah hari yang naas banget buat Eca. Waktu itu dia lagi ngobrol ama Alvin. Eca sendiri juga nggak tau kenapa tiba – tiba Alvin bisa muncul di situ.
“Wah – wah.. asyik nih pulang les dijemput pangeran…” sindir Sesil.
“Apaan sih Ses…?!” jawab Eca yang mulai sadar atas sindiran Sesil.
Nggak tanggung – tanggung, tanpa banyak bicara sebuah tamparan keras mendarat di pipi mulus Eca. Hal itu terjadi secara mendadak sehingga Eca nggak kuasa untuk menghindar. Ternyata Sesil belum puas dengan tamparan itu. Caci maki buat Eca mengalir tiada henti dari mulutnya.
Alvin yang melihat kejadian ini nggak bisa tinggal diam. Setelah dia tau duduk permasalahannya, apalagi dia yang menjadi sumber dari semua kejadian ini. Alvin segera bertindak melihat Eca hanya diam waktu ditampar dan dicaci maki sama Sesil. Dia menjelaskan semuanya. Dari dia kenal ama Eca sampai gimana perasaannya sama Eca yang sebenarnya.
Tindakan Alvin yang ngomong apa adanya kaya gitu bukan membuat Sesil sadar dan minta maaf sama Eca. Malah sebaliknya, dia semakin benci dan dendamnya di hati semakin menumpuk. Ulahnya juga semakin menjadi – jadi.
“Ses, ini kan bulan puasa. Sebaiknya loe maafan aja deh sama si Eca. Dia kan juga temen kita.” Ucap Puput dengan hati – hati.
“Apa?! Maafin pengkhianat kaya dia?! Ogah banget!!” Jawabnya ketus.
Hati Sesil benar – benar udah dipenuhi api dendam yang membara. Meskipun ini adalah bulan yang penuh berkah, tapi bagi Sesil nggak ada artinya. Dia terus berusaha mendekati and ngerebut perhatian Alvin dari Eca. Selain itu, dia selalu menyakiti hati Eca dengan segala cara. Tapi Eca nggak pernah ngelawan. Dia nggak mau mengotori bulan yang suci dan penuh ampunan ini.
Tak terasa hari ini adalah hari terakhir puasa. Besok adalah hari raya Idul Fitri, hari kemenangan yang ditunggu – tunggu umat Islam sedunia. Begitu juga dengan Eca. Karena disaat – saat seperti ini dia bisa berkumpul dengan segenap keluarganya. Tak jauh beda dengan Eca, Alvin juga sangat menanti datangnya hari itu. Karena nanti malam waktu malam takbir, dia akan menyatakan perasaannya sama Eca. Dia sudah mempersiapkan segalnya dengan matang.
Adzan Maghrib telah berkumandang. Tandanya bahwa puasa hari ini telah selesai sekaligus menutup bulan yang berkah ini. Malam ini, Alvin datang ke rumah Eca bersama Iqbal dan teman – teman Eca. Eca sangat kaget mendapat kejutan ini. Apalagi saat Alvin ngungkapin perasaannya di depan semua teman – temannya. Rasa bahagia di wajah Eca nggak bisa ditutup – tutupi lagi. Tapi, tiba – tiba wajahnya berubah menjadi murung ketika ingat bahwa Sesil, sahabat yang sangat dia sayangi sangat mengharapkan Alvin. Dan di saat yang berbahagia ini, Sesil tak ada di sampingnya. Dia bimbang, antara memilih sahabat atau orang yang dia cintai.
Di tengah kebingungannya itu, tiba – tiba Sesil muncul dan langsung memeluk Eca. Dia minta maaf dan menyesali semua tindakannya selama ini. Akhirnya Eca menerima cinta Alvin. Lebaran kali ini sungguh lebaran yang paling istimewa buat Eca dan Alvin juga Sesil. Mereka mengambil hikmah dari semua kejadian ini.
Ternyata kesabaran Eca selama ini membuahkan hasil. Dan dengan hadirnya hari raya Idul Fitri, membuat temannya sadar sekaligus mempersatukan persahabatan empat sekawan, Eca, Sesil, Puput dan Ima yang selama ini sedikit renggang gara – gara datangnya seorang cowok bernama Alvin.

Maafkan Aku Bu….!!

Siang itu matahari menyengat kulit, seorang cewek cantik nan seksi terlihat berjalan cepat menuju sebuah gang kecil. Sepertinya dia takut ada yang mengikuti langkahnya. Tak lama sampailah ia disebuah rumah kecil yang sangat sederhana. Wanita setengah baya menyambutnya dengan senyum ramah di depan pintu, namun gadis itu mengacuhkannya.
Saat sang ibu menyuruhnya makan, Echa, nama cewek itu, malah membentaknya.
“Alah, udah lah Bu!! Buat apa aku makan di rumah. Nggak nafsu!!”
“Nak, kita harus bersyukur masih bisa makan.”
“Bersyukur??!! Keadaan kayak gini disuruh bersyukur??! Buat apa?”
“Ya Tuhan Nak, istighfar!”
Echa sudah tak menghiraukannya lagi. Dia masuk kamar dan membanting pintu keras – keras. Ibunya hanya bisa menangis melihat semua ini. Beliau teringat almarhum suaminya, ayah Echa yang sudah meninggal 5 tahun lalu. Sejak itu, keadaan ekonomi keluarga yang memang sudah pas – pasan, bertambah parah dan tidak menentu. Apalagi beliau memang bekerja sebagai buruh panggilan dari rumah ke rumah yang penghasilannya juga tak menentu.
Keesokan harinya Echa berangkat sekolah pagi – pagi benar. Suara ibunya yang berteriak memanggil untuk sarapan sudah tak mampir ke telinganya sedikitpun.
“Huh, akhirnya keluar juga dari gang sialan itu!!”
‘Tiiinnnn………..tiiiiinnn…..tiinnnn….’
Suara klakson mobil itu mengagetkan Echa.
“Hai cewek!! Lagi ngapain di sini?” Sapa seorang cowok dari dalam mobil itu.
“Eh, Edo, ehmm...aku lagi nunggu taksi.” Jawab Echa selembut – lembutnya.
“Ehm..gimana kalo kita berangkat sekolah sama – sama. Pasti lebih asyik.” Tawar Edo yang emang udah lama naksir sama Echa.
Mereka berdua berangkat ke sekolah bersama – sama. Sesampainya di sekolah, seperti biasa dia langsung gabung sama gengnya yang udah nggak asing lagi di sekolah itu.
“Hai girls....!” Sapa Echa.
“Hai juga........”
“Wah.....gebetan baru nih!!”
“Apaan sih!”
“Udah lah, kamu cocok kok sama dia. Dia kan juga anak orang kaya. Selevel lah sama kita – kita.”
“By the way, nyokap sama bokap kamu ko nggak pulang – pulang sih dari Amrik?”
“Ehm..e….iya. mereka masih banyak urusan di sana.”
“Wah hebat ya.....?!”
‘kriiing.......kriiiing.........kring.........’
Bel masuk menghentikan obrolan mereka yang ngelantur kesana kemari. Kali ini mereka nggak mau telat masuk ke kelas. Karena jam pertama ini gurunya terkenal super – super galak.
Tak terasa pelajaran hari ini selesai sudah. Echa segera keluar kelas dan ingin segera mencapai gerbang sekolah untuk menghindari teman – teman segengnya. Tapi…siapa sangka kalau Edo bakal secepat itu juga keluar dari kelas. Dan secepat kilat dia menyambar tangan Echa.
“Hei, kita pulang bareng yuk.............!!”
“E…nggak usah deh. Aku naik taksi aja.”
“Udah, aku seneng kok kalo bisa pulang bareng sama kamu.”
Echa tak bisa menolak lagi. Terpaksa dia terima tawaran Edo.
“Stop...stop.... aku turun di sini aja.” Ucap Echa tiba – tiba.
“Lho...kok....?! Kenapa turun di sini? Bukannya rumahmu sebelah sana?”
“Udah, nggak apa – apa kok. Pokoknya aku turun sini aja.”
Mau tak mau Edo menghentikan mobilnya dan membiarkan Echa turun. Dalam hati dia masih bertanya – tanya. Setelah Echa turun, Edo lagsung menjalankan mobilnya lagi. Tapi sampai belokan pertama dia putar balik ke tempat di mana Echa minta diturunkan.
Edo memarkir mobilnya di tepi jalan dan mengikuti Echa menyusuri gang kecil dan kumuh itu. Betapa kagetnya Edo melihat Echa masuk ke sebuah rumah yang sama sekali tak sesuai dengan penampilan Echa selama ini.
Setelah itu, dia langsung pergi dan mengemudikan mobilnya kencang banget. Di sebuah rumah gedongan, dia berhenti dan masuk begitu saja. Itulah rumahnya. Ternyata Edo sudah tak sabar memberitahukan hal ini pada temen – temennya. Dia langsung nelpon Rara, teman segeng Echa.
“Masa sih Do? Kamu salah lihat kali! ” respon Rara setelah mendengar cerita Edo panjang lebar.
“Sumpah Ra. Aku nggak mungkin bohong sama kamu! Kalo kamu nggak percaya, besok pulang sekolah kita ikuti Echa sama – sama!”
“Okey, siapa takut?!”
Keesokan harinya pulang sekolah, Rara sama Edo mengikuti Echa. Sama seperti Edo, dia juga sangat kaget. Tapi kali ini, mereka tak langsung pergi. Melainkan menuju rumah itu. Ketika pintu diketuk, keluarlah seorang wanita yang tak lain adalah ibu Echa.
“Eh, ada tamu. Adik – adik ini mau nyari Echa?”
“Ehm..iya Bu, kami temannya Echa. Apa benar ini rumahnya Echa?”
“Iya, benar Nak. Mari, silakan masuk. Saya panggilkan Echa sebentar.”
Edo dan Rara masuk dan duduk disebuah bangku tua. Tak lama, Echa keluar dengan muka yang merah padam. Mungkin karena malu bercampur marah. Kali ini dia tak mungkin mengelak lagi.
“Echa............??!!!” Ekspresi kaget dari Rara tak bisa ditutupi lagi.
“Ra.....please dengerin aku. Aku bisa jelasin semua ini.”
“Kenapa sih Cha kamu nggak ngomong dari awal? Aku malu punya temen kaya kamu!”
Setelah ngomong seperti itu, Rara dan Edo langsung meninggalkan rumah Echa. Ibunya yang mendengar semuanya, merasa kaget tiada kira. Penyakit jantungnya kambuh lagi dan beliau langsung pingsan di tempat. Entah ada angin apa, Echa langsung berteriak minta tolong. Dia segera membawa ibunya ke rumah sakit. Tapi takdir Tuhan memang tak ada yang bisa menolak. Nyawa ibunya sudah tak bisa diselamatkan.
Echa menangis sejadi – jadinya. Dia teringat semua kekejaman yang ia lakukan pada ibunya. Dia menyesali semuanya. Tapi kini semua terlambat. Ibunya telah tiada. Semua teman telah pergi meninggalkannya. Tak ada satupun yang peduli. Tapi, tanpa diduga, Edo datang menghampirinya dan menyatakan bersedia menjadi tempat bersandar Echa. Dia akan selalu menjadi teman suka dan duka Echa.
Ternyata Tuhan masih sayang sama Echa. Buktinya, di saat seperti itu masih ada orang yang mau memperhatikannya. Sejak kejadian itu, kini Echa lebih menghargai sesama dan tak lagi sombong seperti dulu. Meskipun sekarang Echa telah menjadi anak asuh sahabat keluarga Edo.