Siang itu matahari menyengat kulit, seorang cewek cantik nan seksi terlihat berjalan cepat menuju sebuah gang kecil. Sepertinya dia takut ada yang mengikuti langkahnya. Tak lama sampailah ia disebuah rumah kecil yang sangat sederhana. Wanita setengah baya menyambutnya dengan senyum ramah di depan pintu, namun gadis itu mengacuhkannya.
Saat sang ibu menyuruhnya makan, Echa, nama cewek itu, malah membentaknya.
“Alah, udah lah Bu!! Buat apa aku makan di rumah. Nggak nafsu!!”
“Nak, kita harus bersyukur masih bisa makan.”
“Bersyukur??!! Keadaan kayak gini disuruh bersyukur??! Buat apa?”
“Ya Tuhan Nak, istighfar!”
Echa sudah tak menghiraukannya lagi. Dia masuk kamar dan membanting pintu keras – keras. Ibunya hanya bisa menangis melihat semua ini. Beliau teringat almarhum suaminya, ayah Echa yang sudah meninggal 5 tahun lalu. Sejak itu, keadaan ekonomi keluarga yang memang sudah pas – pasan, bertambah parah dan tidak menentu. Apalagi beliau memang bekerja sebagai buruh panggilan dari rumah ke rumah yang penghasilannya juga tak menentu.
Keesokan harinya Echa berangkat sekolah pagi – pagi benar. Suara ibunya yang berteriak memanggil untuk sarapan sudah tak mampir ke telinganya sedikitpun.
“Huh, akhirnya keluar juga dari gang sialan itu!!”
‘Tiiinnnn………..tiiiiinnn…..tiinnnn….’
Suara klakson mobil itu mengagetkan Echa.
“Hai cewek!! Lagi ngapain di sini?” Sapa seorang cowok dari dalam mobil itu.
“Eh, Edo, ehmm...aku lagi nunggu taksi.” Jawab Echa selembut – lembutnya.
“Ehm..gimana kalo kita berangkat sekolah sama – sama. Pasti lebih asyik.” Tawar Edo yang emang udah lama naksir sama Echa.
Mereka berdua berangkat ke sekolah bersama – sama. Sesampainya di sekolah, seperti biasa dia langsung gabung sama gengnya yang udah nggak asing lagi di sekolah itu.
“Hai girls....!” Sapa Echa.
“Hai juga........”
“Wah.....gebetan baru nih!!”
“Apaan sih!”
“Udah lah, kamu cocok kok sama dia. Dia kan juga anak orang kaya. Selevel lah sama kita – kita.”
“By the way, nyokap sama bokap kamu ko nggak pulang – pulang sih dari Amrik?”
“Ehm..e….iya. mereka masih banyak urusan di sana.”
“Wah hebat ya.....?!”
‘kriiing.......kriiiing.........kring.........’
Bel masuk menghentikan obrolan mereka yang ngelantur kesana kemari. Kali ini mereka nggak mau telat masuk ke kelas. Karena jam pertama ini gurunya terkenal super – super galak.
Tak terasa pelajaran hari ini selesai sudah. Echa segera keluar kelas dan ingin segera mencapai gerbang sekolah untuk menghindari teman – teman segengnya. Tapi…siapa sangka kalau Edo bakal secepat itu juga keluar dari kelas. Dan secepat kilat dia menyambar tangan Echa.
“Hei, kita pulang bareng yuk.............!!”
“E…nggak usah deh. Aku naik taksi aja.”
“Udah, aku seneng kok kalo bisa pulang bareng sama kamu.”
Echa tak bisa menolak lagi. Terpaksa dia terima tawaran Edo.
“Stop...stop.... aku turun di sini aja.” Ucap Echa tiba – tiba.
“Lho...kok....?! Kenapa turun di sini? Bukannya rumahmu sebelah sana?”
“Udah, nggak apa – apa kok. Pokoknya aku turun sini aja.”
Mau tak mau Edo menghentikan mobilnya dan membiarkan Echa turun. Dalam hati dia masih bertanya – tanya. Setelah Echa turun, Edo lagsung menjalankan mobilnya lagi. Tapi sampai belokan pertama dia putar balik ke tempat di mana Echa minta diturunkan.
Edo memarkir mobilnya di tepi jalan dan mengikuti Echa menyusuri gang kecil dan kumuh itu. Betapa kagetnya Edo melihat Echa masuk ke sebuah rumah yang sama sekali tak sesuai dengan penampilan Echa selama ini.
Setelah itu, dia langsung pergi dan mengemudikan mobilnya kencang banget. Di sebuah rumah gedongan, dia berhenti dan masuk begitu saja. Itulah rumahnya. Ternyata Edo sudah tak sabar memberitahukan hal ini pada temen – temennya. Dia langsung nelpon Rara, teman segeng Echa.
“Masa sih Do? Kamu salah lihat kali! ” respon Rara setelah mendengar cerita Edo panjang lebar.
“Sumpah Ra. Aku nggak mungkin bohong sama kamu! Kalo kamu nggak percaya, besok pulang sekolah kita ikuti Echa sama – sama!”
“Okey, siapa takut?!”
Keesokan harinya pulang sekolah, Rara sama Edo mengikuti Echa. Sama seperti Edo, dia juga sangat kaget. Tapi kali ini, mereka tak langsung pergi. Melainkan menuju rumah itu. Ketika pintu diketuk, keluarlah seorang wanita yang tak lain adalah ibu Echa.
“Eh, ada tamu. Adik – adik ini mau nyari Echa?”
“Ehm..iya Bu, kami temannya Echa. Apa benar ini rumahnya Echa?”
“Iya, benar Nak. Mari, silakan masuk. Saya panggilkan Echa sebentar.”
Edo dan Rara masuk dan duduk disebuah bangku tua. Tak lama, Echa keluar dengan muka yang merah padam. Mungkin karena malu bercampur marah. Kali ini dia tak mungkin mengelak lagi.
“Echa............??!!!” Ekspresi kaget dari Rara tak bisa ditutupi lagi.
“Ra.....please dengerin aku. Aku bisa jelasin semua ini.”
“Kenapa sih Cha kamu nggak ngomong dari awal? Aku malu punya temen kaya kamu!”
Setelah ngomong seperti itu, Rara dan Edo langsung meninggalkan rumah Echa. Ibunya yang mendengar semuanya, merasa kaget tiada kira. Penyakit jantungnya kambuh lagi dan beliau langsung pingsan di tempat. Entah ada angin apa, Echa langsung berteriak minta tolong. Dia segera membawa ibunya ke rumah sakit. Tapi takdir Tuhan memang tak ada yang bisa menolak. Nyawa ibunya sudah tak bisa diselamatkan.
Echa menangis sejadi – jadinya. Dia teringat semua kekejaman yang ia lakukan pada ibunya. Dia menyesali semuanya. Tapi kini semua terlambat. Ibunya telah tiada. Semua teman telah pergi meninggalkannya. Tak ada satupun yang peduli. Tapi, tanpa diduga, Edo datang menghampirinya dan menyatakan bersedia menjadi tempat bersandar Echa. Dia akan selalu menjadi teman suka dan duka Echa.
Ternyata Tuhan masih sayang sama Echa. Buktinya, di saat seperti itu masih ada orang yang mau memperhatikannya. Sejak kejadian itu, kini Echa lebih menghargai sesama dan tak lagi sombong seperti dulu. Meskipun sekarang Echa telah menjadi anak asuh sahabat keluarga Edo.
Jumat, 18 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar